Menurut mayoritas ulama, wakaf adalah menahan harta yang bisa dimanfaatkan, sementara barang tersebut masih utuh, dengan menghentikan sama sekali pengawasan terhadap barang tersebut dari orang yang mewakafkan dan lainnya, untuk pengelolaan yang diperbolehkan dan riil, atau pengelolaan revenue (penghasilan) barang tersebut untuk tujuan kebajikan dan kebaikan demi mendekatkan diri kepada Allah.
Artinya harta tersebut lepas dari kepemilikan orang yang mewakafkan dan menjadi tertahan dengan dihukumi menjadi milik Allah. Harta tersebut tidak lagi menjadi milik orang mewakafkan, tidak pula berpindah menjadi milik orang lain. Sehingga orang yang mewakafkan terhalang untuk mengelolanya, dan penghasilan dari barang tersebut harus disedekahkan sesuai dengan tujuan pewakafan tersebut.
Lalu apa yang menjadi legalitas wakaf tersebut dalam Islam?
Diriwayatkan bahwa Umar mendapatkan tanah di khaibar kemudian dia bertanya, “Wahai Rasulullah, aku mendapatkan tanah di khaibar. Aku belum pernah sama sekali mendapatkan harta sebaik ini, apa yang engkau perintahkan kepadaku? “Rasulullah Saw. bersabda, “Jika kau ingin, kau bisa menahan (mewakafkan) tanah itu dan menyedekahkan hasil dari tanah itu.”
Maka, Umar menyedekahkan penghasilan dari tanah tersebut- dengan syarat ia tidak dijual, tidak dihibahkan, tidak pula diwariskan. Sedekah itu diberikan kepada orang-orang fakir, sanak kerabat, budak belian, tamu, dan musafir. Orang yang mengawasi tanah tersebut tidak apa-apa makan dari hasil tanah itu dengan pertimbangan yang bijak, memberi makan dari hasil itu kepada orang lain, tanpa menyimpannya. (HR. Muslim).
Imam Nawawi dalam Al Minhaj Syarah Shahih Muslim mengomentari bahwa hadis ini menjadi dasar legalitas wakaf.
Wakaf termasuk bagian daripada Infaq (distribusi milik pribadi di jalan Allah sebelum wafat) dalam kategori infaq sunnah, dalam al Qur’an disebutkan: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluar-kan oleh) orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. (QS. ِAl-Baqarah.261)
Dalam al Qur’an Allah Swt berfirman, “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai…” (Ali ‘Imraan: 92).
“Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untukmu…” (Al-Baqarah: 267).
Ayat-ayat tersebut secara umum memberi pengertian bahwa infak untuk tujuan kebaikan. Sebagaimana wakaf yang menjadi bagian di dalamnya ialah menafkahkan harta pribadi untuk tujuan-tujuan kebaikan.
Juga, karena sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadits Umar di atas, “jika kamu ingin, kamu bisa menahan tanah itu, dan bersedekah dengan hasilnya.”
Selain itu hadis Nabi Muhammad Saw sebagaimana diterangkan oleh para ulama bahwa sedekah jariah dalam konteks hadis berikut ini adalah wakaf. “Jika anak Adam meninggal, amalnya akan terputus kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan setelah ia meninggal, atau anak saleh yang mendoakan baik padanya,” (HR. Muslim).