Makna dan landasan utama atas kewajiban berpuasa adalah taqwa, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 183. Namun bagaimana wujud dari taqwa ini bila dikaitkan dengan perilaku sehari-hari selama puasa?
Barangkali kejujuran adalah salah satunya. Dalam berpuasa, tidak ada satu orangpun yang mengetahui apakah kita benar-benar berpuasa atau tidak-kecuali diri kita sendiri dan Tuhan. Disini makna kejujuran menjadi sangat penting.
Kejujuran adalah laku yang paling sering kita dengar dan diajarkan sejak kecil. Namun dalam praktiknya, perilaku ini masih menjadi PR besar bagi sebagian masyarakat. Kita sering diajarkan agar tidak berbohong, namun dalam keseharian kita malah sering sekali mendengar kasus korupsi. Hampir di tiap lini profesi dan jabatan, hal ini membuat kejujuran-yang seharusnya menjadi lumrah-kian menjadi langka.
Bulan Ramadhan ini kemudian menjadi spesial, barangkali karena di bulan ini kita diberi kesempatan dan waktu lebih untuk mawas diri. Dengan disiplin waktu dan menahan diri dengan bersungguh-sungguh dari beragam godaan, secara tidak langsung telah memberikan kita latihan berlaku jujur, setidaknya untuk diri sendiri.
Proses yang dijalani selama kurang lebih sebulan ini adalah upaya-upaya penting untuk melahirkan kejujuran dan integritas.
Dua hal yang barangkali juga merupakan hikmah besar dalam memberi dampak, bukan saja pada diri sendiri, namun juga lingkungan sosial hingga perekonomian. Tentu saja dampak perekonomian ini menjadi garis besar, karena di bulan yang penuh hikmah ini, kita turut dilatih untuk peduli pada lingkungan sosial dengan melengkapi ibadah puasa dengan zakat dan sedekah.