Salah satu tradisi yang dekat dengan momen mendekati Idul Fitri adalah meningkatnya budaya konsumsi mulai dari sandang hingga pangan. Penilaian akan hal ini tentu memiliki beragam perspektif, diantaranya bisa bernilai baik (barangkali bagi pedagang) namun juga tidak memungkiri dampak buruk karena budaya konsumsi yang hanya dipengaruhi oleh keinginan semata-bukan kebutuhan. Apa bedanya?
Artikel yang ditulis Asep Purnama Bahtiar (Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadyah Yogyakarta) di dalam Koran Tempo menjelaskan bahwa kebutuhan masyarakat turut dibentuk oleh pasar, hal ini merupakan hasil dari iklan yang terus memasuki ruang-ruang privat setiap orang, dari media sosial hingga televisi.
Produk dan barang-barang terus dibingkai menjadi sesuatu yang meningkatkan keinginan untuk berbelanja. Masifnya iklan inilah yang kemudian menjadikan konsumsi atau penggunaan produk bukan lagi sebatas pada kebutuhan, melainkan bersifat massal dan keinginan (nafsu).
Menurut Asep Bahtiar, kuatnya pengaruh pasar dapat disaksikan dari semakin tingginya daya beli dibulan Ramadhan hingga memasuki masa puncaknya mendekati Idul Fitri. Kondisi ini dianggap sebagai suatu ironi, karena hampir satu bulan kita dilatih untuk menahan hawa nafsu, namun pada akhirnya tetap lebur oleh komoditas yang sejatinya tidak terlalu perlu dipenuhi.
Ia menutup tulisannya dengan kalimat yang agaknya masih relevan diulang hingga kini : Laisal-‘idu liman labisal –jadid, innamal –‘idu liman taqwahu tazid (Hari raya Id itu bukanlah bagi orang yang berpakaian baru, tapi sesungguhnya bagi orang-orang bertambah takwanya)