Puasa, Konsumsi, dan Memahami Emosi

Dua pekan sudah bulan Ramadhan dilalui, sedikit demi sedikit hikmah dan kesadaran kembali hidup, memperbaiki pola perilaku pribadi hingga kehidupan sosial.

Meskipun setiap pengalaman individu yang berpuasa sangat beragam dan tidak dapat digeneralisir, ada satu hal yang dapat sama-sama disepakati bahwa; Puasa menyadarkan kita atas pentingnya menahan diri dari perilaku konsumsi yang salah.

Dalam artikel panjang yang diulas oleh laman theschooloflife.com, dijelaskan bagaimana trend atau tekanan sosial secara terus-menerus dapat melenyapkan apa yang kita sebut dengan free will (self control, planful action, and rational choice). Hal ini jugalah yang konon membentuk budaya konsumsi yang-bukan hanya tidak membahagiakan kita namun juga tidak akan membawa perubahan membaik pada ekonomi.

Dikutip dari laman yang sama, dikatakan bahwa nyatanya, kehidupan sosial menanggapi dengan serius bagaimana seseorang menghasilkan uang, dengan bisnis ataupun bekerja dengan pendapatan stabil misalnya. Bahkan tidak jarang sistem pendidikan juga secara gamblang menunjukan intensinya untuk menciptakan manusia yang layak kerja dengan pencapaian steady income. Namun sebaliknya, sangat sedikit perhatian yang diberikan pada bagaimana sebaiknya membelanjakan uang dengan baik.

Why does consumption often go wrong? Sebagian, karena kita tidak menanggapi perasaan kita sendiri dengan cukup serius. Kecenderungan mengikuti rekomendasi yang hadir di lama virtual online, kecenderungan untuk mengikuti tempat-tempat yang sering dibicarakan/viral, kecenderungan terbawa arus gengsi bahwa pakaian yang bagus adalah pakaian dengan brand tertentu, pada akhirnya bukan saja menjerumuskan kita pada gaya hidup yang salah, namun juga kehilangan hal paling dasar dari jati diri kehidupan (free of will)

Lebih lanjut artikel tersebut juga menjabarkan bahwa benda-benda dapat berkontribusi pada kepuasan hanya jika kita memahami diri sendiri dengan cukup baik. Untuk itu menghabiskan uang dengan benar adalah sesuatu yang perlu kita pelajari. Kita perlu menjalani proses edukasi konsumen, yang secara sederhana didefinisikan sebagai seni untuk lebih memahami hubungan antara apa yang kita belanjakan dengan kehendak mandiri/perasaan.

Inti dari konsumerisme adalah untuk menyenangkan perasaan, tetapi pada begitu banyak hari Minggu sore, dalam perjalanan pulang dari bioskop atau mal, stasiun kereta api atau bandara, kita mungkin secara pribadi mengakui bahwa, sekali lagi tidak cukup bisa meletakkan tangan kita di pusat saraf kesenangan sendiri. Konsumsi adalah titik di mana kehidupan modern secara dramatis bersinggungan dengan masalah kuno: Asal mula manusia berkembang. Sebenarnya, pendidikan konsumen adalah cabang filsafat, studi tentang bagaimana kita dapat mendidik diri kita sendiri tentang hakikat sejati, dan ciri-ciri penyusun kehidupan yang baik.

Baca ulasan lengkap mengenai edukasi konsumen ini di sini:
https://www.theschooloflife.com/thebookoflife/consumer-education-on-learning-how-to-spend/

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *